IHSG Terperosok 6,58%, Jadi yang Terburuk di Asia

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami kejatuhan tajam pada perdagangan Selasa (18/3/2025). Per pukul 11:49 WIB, IHSG anjlok 420,97 poin atau 6,58% ke level 6.046. Kejatuhan ini menjadikan IHSG sebagai indeks dengan pelemahan terdalam di kawasan Asia.

Sementara indeks saham lain di Asia justru menunjukkan performa positif, seperti Nikkei 225 Jepang yang naik 1,44%, KLSE Malaysia yang menguat 1,04%, dan STI Singapura yang naik 1%. Perbedaan tren ini mengindikasikan adanya tekanan spesifik di pasar modal Indonesia yang membuat investor semakin khawatir terhadap kondisi ekonomi domestik.

Sebelumnya, IHSG sudah mengalami tekanan besar dengan penurunan 5,02% ke level 6.146 pada sesi pertama perdagangan. Secara keseluruhan, sebanyak 581 saham mengalami pelemahan, hanya 105 saham yang menguat, dan 271 saham stagnan.

Pemicu Kejatuhan: Sentimen Negatif di Pasar dan Ekonomi

Koreksi besar di pasar saham Indonesia tidak lepas dari meningkatnya kekhawatiran investor terhadap kondisi ekonomi dalam negeri. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) dalam surveinya menemukan bahwa 55% ahli ekonomi menilai kondisi ekonomi Indonesia memburuk dalam tiga bulan terakhir.

Bahkan, tujuh ahli menyebutkan situasi ekonomi saat ini jauh lebih buruk dibandingkan sebelumnya, sementara 11 ahli menilai stagnan dan hanya satu ahli yang menilai ekonomi membaik. Dengan prediksi pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah pada kuartal berikutnya, sentimen di pasar saham pun semakin pesimistis.

Selain itu, beberapa saham besar turut menjadi faktor utama kejatuhan IHSG. Saham DCI Indonesia mencatatkan penurunan signifikan yang berdampak pada IHSG dengan kontribusi negatif sebesar 38,24 indeks poin. Sementara itu, saham emiten milik konglomerat Prajogo Pangestu seperti Barito Renewables Energy (BREN) dan Chandra Asri Petrochemical (TPIA) juga menyumbang masing-masing 30,27 dan 29,71 indeks poin terhadap kejatuhan indeks.

Tak hanya itu, saham perbankan raksasa di Indonesia juga mengalami tekanan besar, menambah sentimen negatif di pasar modal.

Regulator Bertindak: BEI Lakukan Trading Halt

Sebagai respons terhadap kejatuhan tajam IHSG, Bursa Efek Indonesia (BEI) resmi menghentikan sementara perdagangan saham (trading halt) pada pukul 11:19 WIB. Langkah ini diambil karena IHSG telah jatuh lebih dari 5% dalam satu sesi perdagangan, sesuai dengan ketentuan dalam Surat Keputusan Direksi BEI Nomor: Kep-00024/BEI/03-2020 tentang penanganan kelangsungan perdagangan dalam kondisi darurat.

Sekretaris BEI, Kautsar Primadi Nurahmad, menyatakan bahwa penghentian sementara ini dilakukan untuk menstabilkan volatilitas pasar dan memberi kesempatan bagi investor untuk merespons kondisi dengan lebih tenang.

“Perdagangan akan kembali dilanjutkan pada pukul 11:49 WIB tanpa ada perubahan jadwal perdagangan,” jelasnya.

Investor Asing Tarik Modal, Rupiah Ikut Tertekan

Tak hanya IHSG yang mengalami tekanan, pasar keuangan Indonesia secara keseluruhan juga mendapat pukulan berat. Investor asing terus menarik dana mereka dari pasar modal Indonesia. Data hingga 17 Maret 2025 menunjukkan bahwa arus modal keluar (capital outflow) telah mencapai Rp26,9 triliun, mengindikasikan kepercayaan investor global terhadap ekonomi Indonesia yang menurun.

Selain itu, nilai tukar rupiah juga mengalami pelemahan sejak awal tahun. Hingga saat ini, rupiah telah terdepresiasi sebesar 0,6% terhadap dolar AS. Hal ini diperburuk oleh meningkatnya credit default swap (CDS) Indonesia ke level 76 basis poin, serta melebar spread Surat Berharga Negara (SBN) dengan US Treasury 10 tahun hingga 255 basis poin.

Lembaga pemeringkat global seperti Morgan Stanley dan Goldman Sachs turut memangkas peringkat saham Indonesia, dengan alasan meningkatnya risiko pelebaran defisit anggaran dan ketidakpastian ekonomi domestik.

Faktor Eksternal: Perang Dagang dan Gejolak Timur Tengah

Selain faktor internal, tekanan terhadap IHSG juga berasal dari ketidakpastian global. Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang baru saja memenangkan pemilu kembali, kembali mengangkat isu perang dagang dengan mitra-mitra dagang utama seperti Tiongkok, Uni Eropa, Kanada, dan Meksiko.

Menurut Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, langkah Trump ini menciptakan ketidakpastian global dan dapat berdampak negatif terhadap perekonomian dunia, termasuk Indonesia.

“Investor mulai menarik dananya karena ketidakpastian ekonomi domestik yang semakin diperparah oleh kebijakan perdagangan global yang tidak menentu,” jelasnya.

Selain perang dagang, eskalasi konflik di Timur Tengah juga menambah tekanan di pasar keuangan global. Serangan Israel ke Jalur Gaza yang menewaskan lebih dari 120 orang telah menimbulkan tekanan pada Hamas. Konflik ini menyebabkan dolar AS semakin menguat, sementara pasar global menjadi lebih berhati-hati terhadap aset berisiko seperti saham di negara berkembang, termasuk Indonesia.

Ibrahim memperingatkan bahwa jika situasi global terus memburuk, rupiah bisa terdepresiasi lebih jauh hingga menyentuh level Rp16.900 per dolar AS sebelum akhir tahun.

“Kondisi ini tentu akan semakin membebani IHSG dan pasar modal Indonesia,” tambahnya.

Outlook IHSG ke Depan: Waspada Volatilitas Tinggi

Dengan berbagai tekanan dari faktor domestik maupun global, para analis memperkirakan IHSG masih akan mengalami volatilitas tinggi dalam beberapa waktu ke depan. Jika tekanan jual masih berlanjut, regulator bisa saja melakukan trading halt kembali untuk menghindari kepanikan di pasar.

Sementara itu, pemerintah diharapkan segera mengambil langkah konkret untuk menjaga stabilitas ekonomi dan menarik kembali kepercayaan investor. Jika tidak ada kebijakan yang mampu meredam ketidakpastian, bukan tidak mungkin IHSG masih akan mengalami tekanan lebih lanjut dalam jangka pendek.