Pemerintah Mesir terus melanjutkan pembangunan ibu kota administrasi baru, yang sementara disebut New Administrative Capital (NAC) atau dikenal dengan nama al-ʿĀṣima al-ʾIdārīya al-Gadīda. Proyek ini mulai diumumkan Menteri Perumahan Pemerintah Mesir, Mostafa Madbouly pada Konferensi Egypt Economic Development sejak 13 Maret 2015 dengan tujuan mengurangi kepadatan di Kairo, yang saat ini dihuni hampir 20 juta orang.

Pada bulan Oktober 2021, menteri perhubungan Kamel al-Wazir mengusulkan nama kota tersebut mungkin cocok diberi nama "Wedian" (berarti "Dasar Sungai" atau "Lembah"), atau "Masr" (padanan bahasa Arab untuk "Mesir. Nama-nama lain yang diusulkan termasuk "Kemet," "Al Mustaqbal," dan "Al Salam”.

Pemindahan Pusat Pemerintahan dan Kota Modern

Ibu kota baru ini berlokasi sekitar 45 km sebelah timur Kairo, tepat di luar Jalan Lingkar Kairo Raya Kedua dan dirancang untuk menjadi pusat pemerintahan yang menampung ibu kota administratif Mesir, Istana Kepresidenan, Kementerian, Parlemen mesir serta keduataan besar negara asing. Dengan luas sekitar 700 km² dan diproyeksikan akan menampung hingga 6,5 juta penduduk.

Awalnya, relokasi direncanakan berlangsung pada tahun 2020-2022, tetapi tertunda akibat pandemi COVID-19 dan kendala konstruksi. Hingga Mei 2023, sebanyak 14 kementerian sudah mulai beroperasi di kota baru ini.

Pemerintah Mesir memperkirakan biaya pemindahan pemerintahan mencapai lebih dari USD 100 juta dolar. Namun, total anggaran dan jadwal keseluruhan proyek masih belum diumumkan secara resmi.

NAC sudah direncanakan untuk dibangun secara bertahap di lahan seluas 170.000 feddan (714 km2/270 mil persegi) dengan Tahap 1, meliputi lebih dari 40.000 feddan atau 4,200 m² kurang dari seperempat lahan yang dialokasikan untuk kota.

Beberapa fasilitas yang direncanakan untuk kota tersebut adalah taman pusat, danau buatan, sekitar 2.000 lembaga pendidikan, taman teknologi dan inovasi,18 rumah sakit, 1.250 masjid dan gereja, stadion berkapasitas 93.440 tempat duduk, 40.000 kamar hotel, taman hiburan utama yang luasnya empat kali lipat Disneyland, ladang energi surya seluas 90 kilometer persegi, dan jalur kereta api listrik dengan Kairo.

Terlebih Kota ini dibangun sebagai kota pintar dengan lebih dari 6.000 kamera yang memantau jalan-jalan dan bersamaan dengan ini, pemerintah akan menggunakan Artificial Intelligence (AI) untuk memantau penggunaan air dan pengelolaan limbah, dan warga akan dapat menyampaikan keluhan ke aplikasi seluler.

Pengelola Pembangunan Ibu Kota Baru Mesir

Pada awalnya, proyek ini akan dikerjakan oleh Capital City Partners, perusahaan investasi asal Uni Emirat Arab yang dipimpin oleh Mohamed Alabbar. Namun, kesepakatan tersebut dibatalkan pada September 2015 karena tidak ada kemajuan signifikan. Pemerintah kemudian bekerja sama dengan perusahaan konstruksi China, China State Construction Engineering Corporation (CSCEC), untuk mengembangkan kawasan pusat bisnis.

Hanya saja, China State Construction Engineering Corporation (CSCEC) menandatangani perjanjian dengan otoritas Mesir pada tahun 2017 untuk hanya mengembangkan CBD.

Pada akhirnya pemerintah Mesir lah yang membiayai dan mengelola sebagian besar pembangunan, mendirikan Perusahaan Pengembangan Perkotaan Ibu Kota Administratif (ACUD) pada 21 April 2016, sebuah badan usaha milik negara Mesir (BUMN)

Pemegang saham utama dari BUMN Mesir ini adalah Kementerian Pertahanan (Organisasi Produk Layanan Nasional dan Otoritas Proyek Lahan Angkatan Bersenjata). Ia memegang 51% melalui kontribusi tanah dalam bentuk barang, dan Otoritas Komunitas Perkotaan Baru (NUCA) Kementerian Perumahan, yang memegang 49% saham melalui suntikan modal sebesar US$2,2 miliar pada tahun 2016 atau setara dengan Rp29,7 triliun dan modal dasar sebesar US$22 miliar atau Rp 297 triliun.

Akses Transportasi

Light Rail Transit Kairo (disingkat LRT) sedang dibangun untuk menghubungkan Kairo dengan Ibu Kota Administratif Baru. Jalur ini dimulai dari Stasiun Adly Mansour di Kota Al Salam pada Jalur Metro Kairo 3, dan terbagi menjadi dua cabang di Kota Badr. Satu cabang berjalan ke utara, sejajar dengan Jalan Lingkar Kairo, hingga ke 10 Kota Ramadan, sementara cabang lainnya berbelok ke selatan menuju Ibu Kota Administratif Baru. Kota-kota perantara di sepanjang rute kereta tersebut meliputi Obour, Shorouk, dan Mostaqbal.

Selain itu, jalur monorel yang sedang dibangun akan menghubungkan Kairo dengan ibu kota baru, dengan koneksi ke Metro Kairo dan LRT Kairo.

Pada bulan Januari 2021, Mesir menandatangani kontrak dengan Siemens untuk membangun jalur kereta api berkecepatan tinggi yang membentang dari kota El Alamein di Mediterania utara hingga kota Ain Sokhna di Laut Merah yang melewati ibu kota baru dan Alexandria. Jalur sepanjang 450 km (280 mil) ini diharapkan selesai pada tahun 2023. Tahap selanjutnya dari jaringan berkecepatan tinggi sepanjang 1.750 km (1.087 mil) ini akan menghubungkan ibu kota baru dengan kota-kota sejauh Aswan di selatan Mesir.

Ibu Kota Administratif Baru juga difasilitasi dengan Bandara Internasional Ibu Kota yang baru. Bandara ini mencakup terminal penumpang dengan kapasitas saat ini 300 penumpang per jam, delapan tempat parkir untuk pesawat, 45 gedung layanan dan administrasi, menara kontrol udara, dan landasan pacu sepanjang 3.650 m (11.975 kaki) yang cocok untuk menerima pesawat besar, dilengkapi dengan sistem pencahayaan dan pendaratan otomatis.

Bandara ini memiliki luas 16 kilometer persegi (6,2 mil persegi) dan diharapkan dapat mengurangi sebagian tekanan pada Bandara Internasional Kairo dan Bandara Internasional Sphinx.

Proyek Ambisius di Tengah Tantangan

Pembangunan NAC dianggap sebagai bagian dari strategi Egypt Vision 2030 untuk modernisasi dan pertumbuhan ekonomi. Meski begitu, proyek ini juga menuai beragam pandangan. Beberapa pihak menilai bahwa kota baru ini dapat mengurangi beban Kairo dan mendorong investasi. Namun, di sisi lain pembanguna tersebut dipertanayakan efektivitasnya di tengah tantangan ekonomi yang dihadapi Mesir.