Pemerintah India kembali berencana menaikkan tarif impor minyak nabati untuk kedua kalinya dalam enam bulan terakhir. Langkah proteksionis ini ditujukan untuk melindungi petani dan industri minyak nabati lokal yang tengah tertekan oleh harga minyak sawit impor yang lebih murah. India, yang mengimpor sekitar 60% kebutuhan minyak nabatinya—dengan Indonesia dan Malaysia sebagai pemasok utama—sekarang memprioritaskan peningkatan produksi dalam negeri melalui kebijakan ini.

Latar Belakang Kebijakan

Sebelumnya, tarif impor telah ditetapkan sebesar 27,5% untuk minyak nabati mentah dan 35,75% untuk minyak nabati olahan. Kini, pemerintah India merencanakan kenaikan tarif sebagai respons terhadap beberapa faktor utama:

Perlindungan Petani Lokal: Tekanan harga dari minyak sawit impor yang lebih murah menekan harga minyak nabati domestik, memicu aksi demonstrasi dari petani.
Dukungan Produksi Domestik: Melalui program Atmanirbhar Bharat (India Mandiri), pemerintah mendorong peningkatan produksi minyak nabati dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan pada impor.
Stabilitas Harga Domestik: Kebijakan ini diharapkan dapat mendongkrak harga minyak nabati lokal, sehingga memberikan dukungan terhadap petani dan industri setempat.

Dampak terhadap Industri Sawit Indonesia

Kebijakan proteksionis India memberikan dampak signifikan pada industri sawit Indonesia:

Penurunan Impor: Data menunjukkan bahwa impor minyak sawit di India turun 45% dari Desember 2024 ke Januari 2025, mencapai level terendah dalam 14 tahun terakhir.
Prediksi Ekspor: Ekspor CPO Indonesia ke India diperkirakan turun 10-15%, dengan potensi penurunan impor hingga 7,5 juta metrik ton pada akhir Oktober 2025.
Tekanan Harga Global: Penurunan permintaan dari India turut menekan harga CPO global, yang berpotensi mengurangi pendapatan devisa Indonesia serta berdampak pada kesejahteraan lebih dari 18 juta pekerja dan petani sawit.
Dampak pada Industri Hilir: Penurunan ekspor CPO juga dapat merembet ke industri hilir seperti minyak goreng dan oleokimia, yang harus menyerap lebih banyak stok domestik dan mengalami penurunan profitabilitas.

Strategi Mitigasi

Untuk mengantisipasi dampak negatif kebijakan ini, pemerintah dan pelaku industri sawit Indonesia perlu mengambil langkah-langkah strategis:

Diversifikasi Pasar: Mengurangi ketergantungan pada pasar India dengan mencari alternatif di China, Pakistan, dan negara-negara di Afrika. Kerja sama melalui Preferential Trade Agreement (PTA) dengan Pakistan dan peningkatan ekspor ke Afrika yang telah tumbuh hingga 25% dalam lima tahun terakhir merupakan peluang strategis.
Peningkatan Penggunaan Domestik: Melalui kebijakan B40 yang mendorong pencampuran biodiesel berbasis minyak sawit ke dalam bahan bakar solar, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada ekspor dan mendukung transisi energi hijau.
Pengembangan Industri Hilir: Meningkatkan nilai tambah produk sawit melalui pengolahan lanjutan, seperti produksi RBD Palm Oil, agar produk memiliki daya saing yang lebih tinggi di pasar global.
Negosiasi Diplomatik: Melakukan pembicaraan dan negosiasi dengan pemerintah India untuk meninjau kembali tarif impor, guna menemukan solusi yang lebih seimbang dan menguntungkan kedua belah pihak.

Kesimpulan

Kebijakan kenaikan tarif impor minyak nabati India menghadirkan tantangan serius bagi industri sawit Indonesia, mulai dari penurunan ekspor hingga penekanan harga global dan dampak pada kesejahteraan petani. Namun, dengan strategi diversifikasi pasar, peningkatan penggunaan domestik, dan pengembangan industri hilir, Indonesia memiliki peluang untuk meminimalkan dampak negatif tersebut. Langkah negosiasi dan kerja sama teknis juga diharapkan dapat membuka jalan bagi solusi bersama, sehingga tantangan ini berubah menjadi momentum inovasi dan perbaikan dalam sektor kelapa sawit nasional.

Kontributor:

Ravindra
Ketua Indonesia-India Youth Forum