Kasus pembunuhan seekor harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) di Desa Tibawan, Kecamatan Rokan IV Koto, Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau, telah mengungkap jaringan perburuan ilegal profesional. Sindikat ini tidak hanya membunuh satwa liar, tetapi juga menguliti dan memotong-motong tubuhnya untuk dijual di pasar gelap, termasuk harimau tersebut.

Pertama kali, warga melaporkan kematian harimau itu pada Minggu (2/3) sore. Pelaporan itu mereka lakukan setelah melihat seekor harimau terjerat perangkap babi liar.

Menerima laporan tersebut, tim dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau pun mendatangi lokasi kejadian pada keesokan paginya (3/3). Mereka segera berkoordinasi dengan aparat desa, kepolisian, dan TNI untuk mengecek lokasi.

Namun, saat tim evakuasi tiba di tempat kejadian, harimau sudah tidak ada di tempat. Mereka justru mereka menemukan jejak-jejak mencurigakan, mulai dari tali jerat yang putus, bekas bacokan senjata tajam, bercak darah, hingga jejak ban mobil di sekitar tempat kejadian. Penemuan-penemuan itu pun memunculkan dugaan bahwa ada pihak yang telah membawa harimau tersebut keluar dari lokasi.

Melihat hal itu, Polsek Rokan IV Koto, Koramil Rokan IV Koto, dan Yayasan Arsari langsung melakukan investigasi gabungan. Investigasi mereka berhasil mengungkap enam tersangka yang terlibat dalam kasus ini. Enam orang tersebut berasal dari berbagai daerah, termasuk satu warga lokal Desa Tibawan, empat orang dari Desa Cipang Kiri Hilir, dan satu lainnya dari Kecamatan Selayang, Kabupaten Pasaman Timur, Sumatera Barat.

Modus Operandi Jaringan Perdagangan Ilegal

Berdasarkan hasil investigasi, Genman Suhefti Hasibuan selaku Kepala BBKSDA Riau mengungkapkan bahwa pelaku utama pembunuhan harimau adalah warga desa setempat bernama En. Bersama dengan lima rekannya, En menangkap harimau yang terjerat itu.

Kemudian, mereka membawa bangkai hewan itu ke Dusun Kubudienau, Desa Cipang Kiri Hilir. Di sana, para pelaku menguliti dan memotong-motongnya. Tidak hanya itu, mereka juga berniat untuk menjual sejumlah bagian "berharga" dari tubuh harimau itu ke pasar gelap, seperti gigi, kulit, dan tulangnya.

Untungnya, tim investigasi berhasil menggagalkan niat buruk para pelaku tersebut. Mereka berlima justru tertangkap oleh polisi bersama dengan berbagai barang bukti. Selain alat jerat berupa kawat sling, parang, dan bagian-bagian tubuh harimau, polisi juga mengamankan karung goni plastik, telepon genggam, dan mobil Toyota Innova hitam yang pelaku gunakan untuk membawa harimau itu.

Ancaman Hukum dan Komitmen Penegakan

Berdasarkan hasil investigasi dan penemuan barang bukti, BBKSDA Riau yakin bahwa para pelaku merupakan sindikat pemburu profesional. Hal ini terbukti dari penggunaan alat jerat berupa kawat sling.

“Cara kerja ini sangat sistematis dan menunjukkan bahwa pelaku memiliki pengalaman dalam perburuan liar,” kata Kepala BBKSDA Riau.

Menanggapi kejadian ini, Satyawan Pudyatmoko selaku Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) memberikan kecaman keras kepada para pelaku. Menurutnya, kasus ini adalah tragedi bagi konservasi satwa liar Indonesia.

“Kementerian Kehutanan berkomitmen untuk menindak tegas setiap pelaku perburuan dan perdagangan ilegal harimau Sumatera dan satwa liar lainnya,” tegas Satyawan.

Para pelaku dijerat dengan Pasal 40 ayat 1 juncto huruf D dan E Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Ancaman hukuman bagi pelaku adalah penjara minimal tiga tahun dan maksimal 15 tahun serta denda hingga Rp 100 juta.

“Siapa pun yang terbukti terlibat akan diproses hukum sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dengan ancaman hukuman penjara hingga lima belas tahun dan denda maksimal Rp 100 juta," jelas Satyawan.

Pesan untuk Masyarakat dan Langkah ke Depan

Satyawan juga mengimbau masyarakat untuk berperan aktif dalam melindungi satwa liar, termasuk harimau sumatra. Beberapa langkah yang dapat dilakukan, antara lain tidak melakukan perburuan atau penyiksaan terhadap satwa liar, menjaga keseimbangan ekosistem dengan tidak memburu mangsa alaminya, dan melaporkan aktivitas ilegal kepada pihak berwenang.

“Kasus ini menjadi pengingat bahwa upaya konservasi membutuhkan kolaborasi semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha, untuk memastikan harimau sumatra tetap lestari di habitatnya,” ucap Satyawan.

Di saat yang bersamaan, BBKSDA Riau dan Kementerian Kehutanan berjanji akan terus meningkatkan patroli di wilayah rawan perburuan. Mereka juga akan memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya perlindungan satwa liar dan memperkuat kerja sama dengan berbagai pihak untuk mencegah kasus serupa terjadi di masa mendatang.